TRIBUNRAKYAT.ID- Budaya merupakan warisan nenek moyang dan nenek moyang kita yang tak tergantikan. Kebudayaan memiliki berbagai unsur, bahasa, sistem informasi, organisasi sosial, sistem alat dan teknologi hidup, dan sistem ekonomi, mata pencaharian, sistem religi, dan juga kesenian.
Selain itu budaya juga mencakup adat istiadat, nilai, dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Indonesia punya bahasa, dan adat leluhur yang banyak dan beragam. Juga dikenal sangat unik dan menarik perhatian masyarakat mancanegara.
Bagaimana menurut kang Dicky kebudayaan mengenai leluhur di era digitalisasi seperti sekarang ini?
Dicky Chandra: Saat ini kelihatannya memang, saya gak tahu di daerah lain ya, tapi kalau, kelihatannya di daerah lain masih cukup baik ya. Masih ada beberapa yang bisa dipertahankan karena beberapa masih cukup kuat televisi lokalnya, di Makassar contohnya, di daerah Surabaya juga ada JTV yang masih memberikan ruang yang cukup kepada para seniman, kalau bicara seni budaya leluhur ya, masih ada beberapa yang masih mempertahankan.
Tapi kalau ditanya kondisi secara nasional, hari ini gak tau gimana, televisi nasional, khususnya swasta ya, sekarang ini sangat minim sekali kesadaran tentang itu, tentang budaya, tentang pengetahuan seni budaya. Khususnya seni budaya itu sudah sangat minim. Saya gak tau apa karena sudah konsep, apa karena dianggapnya seni budaya leluhur tidak akan memperkuat televisi? Ataukah karena memang tidak ada tim kreatif yang bisa mengcombain antara kebutuhan hari ini dengan kebutuhan pelestarian budaya? Atau memang sudah tidak peduli sama sekali. Ya, mudah-mudahan pemerintah lah, bisa mengajak ngobrol televisi-televisi swasta agar gak sekedar nyari uang, tapi juga memberikan value dalam bentuk melestarikan budaya.
Jadi kita harus berani, gak usah takut untuk bicara. Saya saja pernah ditegor oleh televisi karena bicara seperti ini. Karena mereka berpikirnya, kalau gak dapat duit gimana? Jadi sponsor dan televisi juga harus sudah berpikir ulang, jangan sampai tidak peduli pada budaya. Jangan takut untuk melestarikan budaya. Jangan hanya karena tenaganya murah, lantas merekrut para karyawan yang tidak memahami budaya. Karena akhirnya nanti, budaya kita akan hilang dengan sendirinya, itu satu.
Kedua, harus ada tim kreatif yang harus yang bisa mengcombain. Mengcombain seni budaya tradisional. Contoh, dulu sempat ada pakem yang protes, gara-gara wayang goleknya abah almarhum Asep Sunarya. Nah Abah bikin Buta Hejo dengan suara khasnya. Nah yang pakem tidak perlu baper. Dia berusaha menciptakan itu. Untuk orang-orang yang tidak suka dengan pakem yang diciptakan oleh almarhum Asep Sunarya, silahkan saja melihat pakem, tapi wayangnya jangan sampai hilang. Itu yang paling utama. Itu kondisi hari ini yang memang sangat menyedihkan.
Terakhir di televisi, yang saya ingat, saya gak tau di televisi nasional, terakhir itu, Canda Wayang, di situ masih ada pedalang wayang golek yang masih bisa main di situ. Kebetulan, saya penulisnya, saya penata laku atau sutradaranya. Terakhir banget yang wayang golek asli, yang ada wayang goleknya itu, setahu saya, kalo di nasional itu di NET, yaitu “bukan sekadar Wayang”. Itu juga saya yang nulis dan saya sutradaranya.
Nah sekarang, harusnya kan gen-gen yang baru nih, yang harus sudah memulai, berani membuat sesuatu yang baru, masa saya lagi, saya kan sudah terlalu… terlalu muda 😁. Mukanya gak beda jauh sama kuda.. 😁😁. Jadi seharusnya anak-anak muda lah, gen z gen x, yang mengambil alih itu, masa saya lagi, saya lagi.
Saya dulu mungkin, karena orang gak tau. Ini saya kasih tau, bukan apa-apa, ya ini buat sekadar informasi aja. Mulai ada ‘ngedate sareung cepot’, yaitu wayang golek yang ngobrol sama pelawak’, sama ‘ngeband sareung cepot’, yaitu wayang golek yang dicombain sama group band Angkasa, waktu itu sama group band apa, saya lupa. Kita ikhtiar, coba mengenalkan wayang kepada orang lain.
Bukan cuma wayang group, saya pernah bikin longser gerr, orang gak ada yang tahu. Longser gerr di TPI dulu. Nah artinya, bagaimana usaha kita mencoba memperkenalkan budaya-budaya tradisional yang ada, bisa masuk secara nasional. Memang tidak bisa sepakem 100 persen karena ada dalam tanda kutip, tv-tv kan ada keinginan untuk usaha, bisnis. Ketika mereka mencoba, katanya nih ya versi mereka, mencoba yang tradisional murni, ternyata iklannya kurang, sehingga itu merugikan televisi. Ok, akhirnya kita mengcombain.
Makanya wayang golek dicombain dengan pelawak. Itu bagian dari upaya dan supaya tontonan, tapi juga ada tuntunan. Tuntunannya apa?, tuntunannya pelestarian budaya. Tuntunannya apa?, tuntunannya adalah dari setiap cerita ada valuenya, gak sekedar ngelawak-ngelawak, jadi tetap ada value. Terus tontonannya apa?, tontonannya si Cepot bisa berkomunikasi dengan si pelawak.
Hayu diminum dulu kopinya… 😁😁
Lalu kenapa gak anak muda aja sih yang membuat script mengenai ini?
Dicky Candra: Rp
Harusnya!, saya sih berharap ketika televisi merekrut tim kreatif atau penulis itu, juga harus mensyaratkan bahwa karyawan-karyawan, khususnya di tim kreatif harus sudah mengenal budaya-budaya, sesuai tempat lahirnya. Contohnya, kalau orang Bangka Belitung, ya udah dia harus tau, apa?. Jadi tv selain ngetes yang lain, tapi juga ngetes sampai sejauh mana dia mengenal seni budaya tradisional yang ada. Karena kita bisa bertahan itu karena kekayaan seni budaya dan tradisi.
Apakah akang gak ingin bikin kelas untuk anak-anak Gen Z itu untuk memperkenalkan dan bagaimana itu agar terjun ke stasiun supaya lebih melestarikan budaya?
Dicky Chandra:
Saya memang belum bikin begitu, tapi kalau ada undangan dari beberapa sekolah, biasanya salah satu materinya itu.
Nah yang menyebabkan budaya luntur nih, akibat digitalisasi atau faktor-faktor lainnya?
Dicky Chandra:
Jadi sebetulnya bukan digitalisasi. Digital itu tidak akan melunturkan budaya sebetulnya, kalau misalnya kitanya sendiri, manusianya sendiri, SDM-nya sendiri, menyadari tentang manfaat dan fungsi budaya. Sekarang ginilah, kenapa China majulah, sampai sekarang musuhan sama Amerika lah gitu, Jepang juga maju, Korea maju kan? Sekarang kebanyakkan orang nonton drama Korea atau segala macam. Coba dicek diantara tiga itu aja, Jepang, Korea, sama China, bisa sangat maju kenapa? Karena mereka bisa sangat mencintai budayanya.
Dari budaya makannya, budaya berpakaiannya, budaya bisnisnya, dan itu banyak dicontoh oleh kita. Ada yang makan puyunghai, ada yang makan lamen, kuetiauw. Jadi sampai ke makanan aja di contoh oleh orang Indonesia. Sementara orang Indonesia? dahar liweut yuk!, “ih emang orang kampung abdi”. Dulu mah ada peuyeum Bandung, peuyeum Bandung!, akhirnya dipake heureuy, “peuyeumpuan”.
Akhirnya, ya udah, lama-lama akan hilang. Bukan berarti, wah kang Dicky anti kebab, anti Arab, anti puyunghai ti China, enggak!!, silahkan!!. Semua makanan tradisional dari Italy, darimana-mana, semua masuk semua, pun gak ada masalah. Tapi, harus ada yang menjaga makanan tradisional. Nah di hari ini kita masih berbangga dengan masakan Padang karena dia bisa menembus sampai luar negeri. Jadi mudah-mudahan bukan cuma nasi Padang. Besok ada ini (nasi goreng dan lain-lain).
BERSAMBUNG…
Part 3
Tentunya ada perubahan ya. Nah sekarang orang menggunakan digitalisasi bukan pada tempatnya, kecanduan, dan sebagainya. Bagaimana menurut kang Dicky?
Dicky Chandra:
Ada dua nih ya mengenai budaya leluhur yang sudah berubah, sebetulnya gak berubah. Kalaupun ada perubahan, itu lebih kepada mencocokan supaya bisa masuk ke era digitalisasi sekarang ini. Terus digitalisasi banyak yang memanfaatkan, dimanfaatkan salahnya.
Digitalisasi sama dengan era televisi jaman dulu. Televisi juga sama kaya pisau. Kalau pisau sama ibu-ibu, akan memberikan manfaat buat motong sayur, daging, cabai. Tapi kalau dipegang sama preman anu mabok, nah itu yang berbahaya.
Jadi, televisi dan digital sebetulnya sama seperti media sosial dan segala macam, bisa seperti pisau. Kalau yang menggunakannya baik dan niatnya juga baik, maka akan bermanfaat. Nah kalau pemegang digitalnya itu baik dan niatnya ingin melestarikan budaya, besok lusa kita akan melihat di media sosial, seni budaya tradisional kita dengan tontonan yang sifatnya tuntunan dan layak untuk ditonton.
Jadi perubahan budaya leluhur itu dengan digitalisasi sekarang ini, gak berubah ya, justru menimbulkan kebudayaan-kebudayaan baru. Atau gimana?
Dicky Chandra:
Jadi kehadiran digitalisasi jangan sampai dianggap sebagai suatu kemunduran budaya, “seharusnya”. Mungkin pernah lihat saya dulu di tv Ine saya pernah cerita kan, ini problemnya pemerintah abai terhadap budaya. Silahkan sampaikan dan memang iya, kalau mau debat pun saya siap. Debat dari dulu sudah ada soal budaya karena budaya dari dulu dianggap ‘euweuh duitan’. Dianggapnya begitu, padahal sebetulnya akar dari pertumbuhan ekonomi itu dari budaya.
Contoh kecil, saya pakai ikat begini (ikat kepala). Tanpa sadar, tanpa disadari, misalnya ada satu-dua orang yang beli ikat juga. Bukan karena dia ingin demo, turunkan harga BBM!, turunkan harga BBM!, heunteu kitu. Artinya, dengan seperti ini, mudah-mudahan bisa disukai oleh bule dan segala macam. Itu sebetulnya.
Nah, pemerintah abai, seharusnya pemerintah sekarang mempelajari tentang pendidikan politik dan segala macam dari naskah amanat Galunggung, misalnya, contoh kecil. Karena banyak sekali pendidikan politik yang disampaikan. Bahwa yang namanya pemimpin itu kudu ciga cai’ ceunah kitu kan, dinah naskah amanat Galunggung.
Lamun mengkol ka kenca (kiri), cai mah da kumaha aluna, lamun aluna ka kenca, milu ka kenca, lamun ka tuhu (kanan), ya ka tuhu, lamun ka lempeng (luhur), ya lempeng, lamun aya nu bulak balik, salah sendiri, naha beukicicing (diam)? Inilah jalan cai. Nah pemimpin itu harus ikutin aturan. Kalau ada yang kena masalah hukum, ya salah sendiri. Kenapa melawan aturan, contoh begitu.
Itu kan sebetulnya sudah diajarkan. Ada timbang nganten, pertimbangan seperti apa? Ada juga kandang wesi, tentang kesaktian, artinya kesaktian itu, eu… apa.. kekuatan itu tidak selalu harus fisik aj, tapi ada di sana. Nah, tapi kita gak pernah, saya aja yang sekelas saya sulit untuk mempelajari murni yang mana? Karena pemerintah sampai saat ini tidak pernah membiayai itu.
Padahal banyak situs-situs yang yang harus diiniin. Punteun di Sumedang kan banyak, akhirnya sekarang malah Jati Gede kan, malah dikeueum (direndam), padahal itu bagus, situs sejarah yang harusnya bisa diguar (disebar), seperti contoh begitu.
Kalau saya misalnya hari ini, wah kang Dicky nyalahkeun pemerintah, bukan nyalahin, tapi mengkritik. Da kritik itu adalah madu. Tapi lamun dipuji mah, dipuji malah racun. Orang yang seringkali dipuji, malah jadi beubudakeun (kekanak-kanakan), teu kolot-kolot (gak dewasa). Tapi orang yang mau menerima kritik, akhirnya menjadi dewasa.
Artian, kita gak boleh anti kritik. Jadi saya sampaikan ini supaya pemerintah ke depan, siapa pun juga lebih peduli lagi pada budaya.
BERSAMBUNG
Karena di beberapa daerah ada yang kekurangan air. Air, sok pasti ada yang kekurangan air. Ada yang petani, sawahnya jadi hilang karena airnya tidak mengalir. Kenapa? Karena kultur-kulturnya sudah tidak pernah dipelajari, sehingga pembangunan tidak berbasis lagi, eu… budaya. Tidak berbasis budaya tuh karena apa? Karena KLS-nya, pembuat Kajian Lingkungan Strategisnya, sudah tidak berbasis budaya.
Harusnya dalam setiap pembangunan itu , ada KLS namanya, Kajian Lingkungan Strategis. Setelah itu ada Fasibility Study, atau FS, DED (Detail Engineering Design), dan lainnya. KLS ya itu dilakukan oleh Bappeda dan biasanya itu suka ngilang. Akhirnya, banyak kota yang dibangun, misalnya ini kota, dibangun kota, didieu cai, iyeu sawah, akhirna petani ketutup.
Karena jalan cai, biasanya dipakai untuk… Punteun, karena etnis tertentu biasnya suka bangun rumah di atas cai, hoki ceunah, ayena mah hokcay. Nah, gara-gara ngudak hoki, akhirna banyak air yang tidak nyampe. Makanya jangan kaget, kalau ada kota yang banjir. Karena pembangunan tidak berbasis pada budaya.
Budaya itu bukan cuma seni, wayang golek dan lain saja, tapi pemahaman itu. Contoh waktu jaman saya jadi pejabat, saya pernah bilang, pernah ngasih contoh, misalnya daerah Cilawu (Garut), Cilawu itu banyakan main Kelenci, paling ada sapi, domba sedikit. Tiba-tiba diberikan uang untuk membuat domba.
“Nih saya kasih untuk piara domba, tiga bulan nanti saya cek.”
Wah nuhun pak, nuhun…
Udah aja. Tiga bulan kemudian dicek, “pak, bapak pernah dapat bantuan, dapat uang untuk eu… ngurus domba kan ya?”
Oh iya betul…
“Mana dombana?”
Aya pak, keur nyeuseuh (nyuci)…
“ngke ke, naha domba nyeuseuh?(tanya dalam hati)
Pak punteun atuh pak, ngurus domba mah hese, lamun ngurus awewe mah reseup, bla bla bla
Si bapak ini salah kan? Menyalahgunakan anggaran dari domba ke perempuan. Tapi pemerintah juga salah, kenapa? Menyalurkan bantuan, tidak berbasis budaya. Geus puguh tukang awewe, dibere domba. Berarti, pemerintah harus melek budaya, kitu….
Mangga ah dileueut…
Jadi sebetulnya jangan pernah berpikiran lagi bahwa digitalisasi bisa menghilangkan budaya, gak! Kita sendiri yang bisa menghilangkan. Digitalisasi bisa menghadirkan bencana alam, enggak juga! Kitanya sendiri yang kadang-kadang eu muncul… Sebab bahayanya bencana alam itu, tidak lebih bahaya dibandingkan dengan bencana yang lain, yaitu bencana akhlak. Karena pengen kaya, karena pengen seneng, karena pengen proyek, akhirnya kita melupakan hal-hal kecil yang sebetulnya itu adalah besar. Karena yang besar itu adalah kumpulan dari yang kecil-kecil.
Jadi menimbulkan budaya-budaya yang tidak seharusnya. Tapinya sudah dibiasakan, dibilang itu budaya kang.
Betul! Jujur aja, sekarang eneng, temen-temen, Gen Z terutama, sekarang kan, mereka lebih menghargai budaya Korea, budaya…, dulu jaman kita kan ada yang ke budaya Hong Kong, Taiwan, ke budaya Amerika, terus begitu. Terus kita menyalahkan anak muda, padahal bukan salah mereka 100 persen.
Kesalahannya adalah pemerintah tidak memberikan ruang atau sarana yang pas, yang tepat untuk bisa mengemas budaya menjadi bagian daripada muatan lokal dari pendidikan kita. Coba kalau menjadi muluk-muluk, diwajibkan di berbagai tempat. Di Jakarta, harus ada itu yang namanya Lenong, apa segala macam, di Jawa, di Batak, itu harus ada.
Sehingga budaya ini menjadi muncul, atau krosing budaya. Gitu, karena sekarang kan sudah sangat minim. Dan tambah lagi, eu selain pemerintah dalam hal ini eksekutor (eksekutif), eksekutif itu kan yang melaksanakan (eksekutor) satu lagi Legislatif yang membuat regulasi, satu lagi yudikatif sebagai badan hukum, ada juga, yaitu penyiaran, televisi.
Televisi penting, gara-gara televisi dipegangnya oleh salah satu partai, hoax bisa jadi muncul, betul kan? Nah artinya televisi itu media sangat mungkin mengcreate some thing (membuat sesuatu). Kalau media kompak atau diwajibkan membuat sesuatu untuk mengangkat seni dan budaya karuhun atau leluhur, insya Allah sedikit banyaknya mereka diadu kreatif.
Misalnya, tv A sama tv B, sama-sama punya kewajiban meng-guar budaya, mereka menayangkan budaya yang ini, yang ini harus meng-guar budaya yang ini, dua-duanya harus kreatif. Akhirnya mengangkat orang kreatif yang kreatif, gimana caranya, ini menarik.
Wah akhirnya berlomba-lombakan, bersaing dan muncul atau lahirlah kreasi atau kretifitas yang dibuat oleh tim kreatif televisi dalam menghadirkan sebuah pagelaran seni budaya, misalnya yang berkaitan dengan leluhur kita, yang disukai anak muda.
Iya berkolaborasi…
Kalau sekarang mah tidak ada kompetisi itu, lempeng weh. Puntteun, sekarang masih banyak budayawan yang saya kenal yang geus karolot, kitu…Harusnya kan anak-anak muda sekarang sudah mulai.
Kemarin saya ke SMK …. di sana ada jurusan pedalangan. Saya dapat informasi, cuma 11 orang muridnya yang pedalangan. Di satu sisi sedih, di sisi lain kita marah, tapi marah sama siapa? Bingun gitu karena memang betul , dalang?? Reuk jadi naon engkena…
Gitu kan sehingga memang pemerintah ke depan harus sudah mulai menciptakan itu. Coba kalau memang ada satu culture atau kultur, dimana setiap orang nikah, pasti ada dalang, ahh dalang bakal banyak, iya kan?
Artinya peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Pemerintah tidak boleh abai terhadap budaya.
Lalu upaya apalagi yang lebih konkret untuk menggaet minta anak-anak muda atau Gen Z dengan digitalisasi yang mereka gunakan supaya mereka lebih tertarik lagi?
Sebetulnya ada doa hal yang dilakukan. Satu, kreatifitas yang dibuat pemerintah itu apa?, apa regulasinya?, apa untuk meningkatkan budaya, memperkenalkan budaya, memaksakan anak muda untuk bisa, untuk mau gak mau memperkenalkan budaya yang sampai akhirnya cinta mereka.
Kedua, bagaimana kreatif-kreatif dari kita, masyarakat yang mau budaya, siap menciptakan jembatan-jembatan yang dua pakem. Karena sekarang kan eranya kabar buruk itu kabar baik, kabar baik itu kabar buruk. Jadi misalnya saya, Dicky Chandra misalnya membuat pagelaran wayang, rampak dalang, wah udah keren segala macamnya. Itu mah orang biasa, rampak dalang nain ah, kolot Pisan yak. Itu bagus buat berita, tapi buat bagus itu gak, biasa ajalah, jadinya berita buruk.
Tapi kalau saya bikin berita buruk, misalnya Dicky Chandra, saya menghamili domba misalnya, itu bisa jadi berita buruk. Wah itu bakal viral. Tapi kan kita gak punya wewenang untuk membuat berita buruk. Terus gimana dong? Berita Bikin Unik.
Bikinlah berita yang unik. Dulu di rumah saya ada yang namanya Mailee. Dia pegawai saya, dia tinggal di rumah saya, dia supir, dia apa, pak aku mau jadi artis, segala macam. Oke yang penting cakap kau jangan diubah, kau harus cakap Medan macam kau ini, lakukan terus. Itu satu
Yang kedua, Anda mencoba mencari sesuatu yang orang lain tidak bisa bikin. Coba mainkanlah itu, akhirnya dia pinjam motornya Rudi Putra, tukang seblak dipakai lah, dipakai, dipakai, akhirnya dia pulang ‘pak penghasilanku sekarang 600 juta per bulan”. Juga ada Sule dan Komeng bla bla bla
Intinya, semua itu kembali kepada Gen z nya juga